Hidup Itu...
(Doa dan
Ikhtiar)
Aida
Rukmana Hadi (15709251093)
Tulisan ini
merupakan refleksi keempat dari perkuliahan filsafat ilmu pertemuan keempat
pada hari Selasa, 29 September 2015 bertempat di ruang 305B Gedung lama
pascasarjana pukul 11.10 – 12.50 WIB yang dihadiri oleh mahasiswa S2 Pendidikan
Matematika kelas A dengan dosen pengampu Prof. Dr. Marsigith. MA. Pada
pertemuan kali ini beliau mengajukan tes spontan yang jawabannya kami jawab
juga dengan spontan yang kami tulis pada selembar kertas.
Tes itu terdiri dari 50 soal yaitu: Siapa nama anda?, Siapa nama saya?, Siapa nama bapak anda?, Siapa nama ibu anda?, Dimana anda tinggal?, Berapa umur anda?, Berapa berat badan anda?, Berapa tinggi badan anda?, Darimana anda lahir?, Kapan anda lahir?, Apa ini?(sambil beliau mengacungkan jari telunjuk kanan), Apa ini?(sambil beliau menyentuhkan ujung jari telunjuk dengan ujung jari jempol yang membentuk angka nol), Apa ini?(sambil beliau menyilangkan jari telunjuk kanan dan jari telunjuk kiri), Apa ini? (sambil beliau mengacungkan jari telunjuk kanan, jari tengah kanan, dan jari manis kanan secara bersamaan), Berapa ini? (sambil beliau mengacungkan jari telunjuk kanan, jari tengah kanan, dan jari manis kanan secara bersamaan), Berapakah 7 + 4?, Berapakah 8 dibagi 2?, Mengapa anda makan?, Mengapa anda minum?, Apa yang anda bicarakan?, Apa yang dengar?, Apa yang anda pikirkan?, dan sebagainya.. Ternyata jawaban yang kami tuliskan di selebaran kertas itu sangatlah berbeda dengan jawaban yang diberikan oleh bapak. Sebagian besar dari kami memiliki jawaban yang semuanya salah. Padahal pertanyaan-pertanyaan yang diberikan sangatlah sepele dan merupakan pertanyaan-pertanyaan formal yang biasa kita temukan sehari-hari. Tetapi jawaban-jawaban berdasarkan filsafat sangatlah tidak terduga. Misalkan Siapakah nama anda? Yang saya tulis menjadi jawaban adalah Aida Rukmana Hadi.. iya, secara formal memang jawaban itu sangatlah benar tetapi secara filsafat jawaban tersebut salah besar karena filsafat sangat menghargai ruang dan waktu maka jawaban yang benar adalah belum tentu Aida Rukmana Hadi sebab nama tersebut bisa saja berubah berdasarkan ruang dan waktunya. Jawaban-jawaban itu menyadarkan saya ternyata dalam belajar filsafat kita haruslah santun terhadap ruang dan waktu dan memang dalam mempelajarinya kita harus ikhlas dalam mengolah pikiran kita agar bisa memberikan refleksi yang baik.
Tes itu terdiri dari 50 soal yaitu: Siapa nama anda?, Siapa nama saya?, Siapa nama bapak anda?, Siapa nama ibu anda?, Dimana anda tinggal?, Berapa umur anda?, Berapa berat badan anda?, Berapa tinggi badan anda?, Darimana anda lahir?, Kapan anda lahir?, Apa ini?(sambil beliau mengacungkan jari telunjuk kanan), Apa ini?(sambil beliau menyentuhkan ujung jari telunjuk dengan ujung jari jempol yang membentuk angka nol), Apa ini?(sambil beliau menyilangkan jari telunjuk kanan dan jari telunjuk kiri), Apa ini? (sambil beliau mengacungkan jari telunjuk kanan, jari tengah kanan, dan jari manis kanan secara bersamaan), Berapa ini? (sambil beliau mengacungkan jari telunjuk kanan, jari tengah kanan, dan jari manis kanan secara bersamaan), Berapakah 7 + 4?, Berapakah 8 dibagi 2?, Mengapa anda makan?, Mengapa anda minum?, Apa yang anda bicarakan?, Apa yang dengar?, Apa yang anda pikirkan?, dan sebagainya.. Ternyata jawaban yang kami tuliskan di selebaran kertas itu sangatlah berbeda dengan jawaban yang diberikan oleh bapak. Sebagian besar dari kami memiliki jawaban yang semuanya salah. Padahal pertanyaan-pertanyaan yang diberikan sangatlah sepele dan merupakan pertanyaan-pertanyaan formal yang biasa kita temukan sehari-hari. Tetapi jawaban-jawaban berdasarkan filsafat sangatlah tidak terduga. Misalkan Siapakah nama anda? Yang saya tulis menjadi jawaban adalah Aida Rukmana Hadi.. iya, secara formal memang jawaban itu sangatlah benar tetapi secara filsafat jawaban tersebut salah besar karena filsafat sangat menghargai ruang dan waktu maka jawaban yang benar adalah belum tentu Aida Rukmana Hadi sebab nama tersebut bisa saja berubah berdasarkan ruang dan waktunya. Jawaban-jawaban itu menyadarkan saya ternyata dalam belajar filsafat kita haruslah santun terhadap ruang dan waktu dan memang dalam mempelajarinya kita harus ikhlas dalam mengolah pikiran kita agar bisa memberikan refleksi yang baik.
Pada pertemuan
keempat ini kami juga menyediakan pertanyaan karena dari pertanyaan-pertanyaan
tersebut nantinya akan dijawab oleh bapak dan penjelasan-penjelasan dari
pertanyaan tersebut akan menjadi ilmu pengetahuan baru bagi kami yang awalnya
mungkin ada bagi kami menjadi ada.
Pertanyaan: Mengapa
manusia bisa tidur dan mengapa manusia bisa bangun? (Ibu Retno)
Ini sama
artinya dengan unsur dasar manusia seperti mengapa jantung manusia berdetak. Secara
medis, elektrik, biologis pasti ada jawabannya tetapi itu semua tidak bisa
dijadikan sebagai jawaban filsafat. Sebagaimana dengan pertanyaan seorang
mahasiswa tentang bagaimana dengan orang yang mencari dzat Tuhan dengan
menggunakan teknologi. Secara filsafat jika diekstensikan menurut agama, semua
dzat itu sakral termasuk kentut pun sakral. Semua dzat itu berada di dalam
pengaruh kuasa Tuhan. Dengan kata lain, tidak heran jika seseorang itu berhasil
menemukan dzat Tuhan. Contohnya saja ketika seseorang memegang kepala dan
rambut, itu merupakan dzat Tuhan. Hiduplah sesuai dengan kodratnya. Jika
seseorang ingin hidup harmoni, maka sesuaikanlah dengan kodrat Tuhan yaitu
fatal dan vital. Fatal jika dianalogikan menjadi takdir, kepasrahan diri atau
doa sedangkan vital jika dianalogikan menjadi usaha atau ikhtiar kita. Jika
hidup fatal saja atau berserah pada nasib saja itu tidak bisa ataupun juga
hidup vital saja atau hidup dengan ikhtiar itupun juga tidak bisa. Jika
seseorang menghadapi sesuatu seharusnya ikhtiar disertai dengan doa. Memang,
kelihatannya ia bersungguh-sungguh dalam berikhtiar tetapi ia tidak tahu secara
keseluruhan Tuhan memiliki skema di mana manusia tidak mampu melihatnya.
Manusia tidak bisa melihat masa depan, tetapi jika dia mengakui dia bisa
melihat masa depan seseorang dan mendahului takdir maka di hati manusia itu
terdapat penyakit. Hal itu merupakan potensi hitam dan tujuannya adalah neraka.
Surga, malaikat dan unsur-unsurnya merupakan hasil dari potensi baik sedangkan
neraka, syaitan dan unsur-unsurnya masuk ke dalam potensi buruk. Manusia dan
interaksinya terdiri dari kedua unsur tersebut. Hidup ini unsur dasarnya adalah
fatal dan vital. Sesuatu yang sudah terjadi sejak sekarang maupun masa lampau
itu jelas merupakan takdir. Seseorang yang percaya dan beriman kepada takdir,
ia akan selalu bersyukur atas apapun yang terjadi di waktu lampau yang jelas
merupakan kehendak Tuhan. Ia tidak akan menyesali masa lampau yang sudah
terjadi. Sehingga ketika seseorang mencari dzat Tuhan dengan teknologi, dia
sudah mempunyai pemikiran tentang konsep Tuhan. Konsep-konsep itu terkandung di
dalam wadah dan isi. Maka setiap apa yang dipikirkan merupakan sebuah wadah dan
setiap yang disebutkan adalah isinya. Dimanapun, kapanpun kita bisa menemukan
dzat Tuhan jika ada potensi-potensi yang kita miliki. Jadi sebenar-benarnya
hidup adalah sintesis interaksi antara doa dan ikhtiar dan sebenar-benarnya
hidup adalah sintesis interaksi antara fatal dan vital.
0 komentar:
Posting Komentar